hakikat aqidah dan iman

pada hakikatnya aqidah adalah pemikiran yang paling mendasar, menyeluruh, yang menjadi pandangan hidup/ paradigma kehidupan/ persepsi kehidupan, pandangan pokok/ asal segala sesuatu, yang diterima dan diyakini sepenuh hati dan kemudian dijadikan sebagai standar dan pedoman hidup. pemikiran itu bisa berupa agama, ideologi, budaya maupun prinsip-prinsip moral/ etika.

pemikiran dibagi menjadi 2:

  1. pemikiran usul/ pokok. pemikiran ini bersifat menyeluruh dan mendasar. pemikiran ini menjadi pandangan hidup, paradigma kehidupan, persepsi kehidupan. pemikiran ini adalah pemikiran asal sehingga tidak bisa digali lebih dalam lagi dari mana asal dan sumbernya. pemikiran ini bersifat komprehensif, radikal dan fundamental. pemikiran ini dapat melahirkan banyak pemikiran cabang atau turunan. pemikiran ini wajib diyakini 100% karena kalau tidak 100% akan timbul keraguan dalam kehidupan manusia sehingga mampu menggoyahkan prinsip-prinsip keyakinannya, mengacaukan hidupnya bahkan menghancurkan segala kehidupan manusia. pemikiran ini contohnya aqidah Islam, aqidah kristen, aqidah hindu, materialisme, atheisme dsb.
  2. pemikiran cabang. pemikiran ini diturunkan dari pemikiran pokok. pemikiran ini bersifat parsial, yaitu hanya mencakup sebagian dari bidang-bidang kehidupan. pemikiran ini bisa diyakini meskipun tingkat keyakinannya tidak 100%. karena pemikiran cabang dapat diubah dan dikoreksi sesuai standar pemikiran pokok, fakta, dalil atau kondisi. contohnya prinsip-prinsip etika seperti jujur, adil, suka menolong. prinsip-prinsip itu harus dilakukan setiap tempat dan setiap waktu tapi ternyata ada kondisi-kondisi tertentu di mana prinsip-prinsip itu boleh dilanggar. hal ini dapat dilakukan menurut kondisi darurat dan urgen menurut pemikiran pokoknya.

masalah berikutnya adalah iman. hakikat iman adalah sikap menerima dan meyakini. mengenai menerima dan meyakini, maka tingkat penerimaan dan keyakinan itu dibagi menjadi 5 tingkat:

  1. ‘ilm, yaitu tingkat keyakinan hati yang utuh 100% (bulat) dan sesuai dengan fakta.
  2. yaqin, yaitu tingkat meyakini sesuatu bahwa sesuatu itu memiliki sifat-sifat, keadaan dan perbuatan sesuai yang diyakini, dengan keyakinan sesuatu itu hanya bisa terwujud dengan satu cara yang diyakini, sesuai dengan fakta dan tidak akan hilang. contoh: keyakinan bahwa segala sesuatu di dunia ini berubah. definisi ini mengandung arti tetap. misalnya hari ini Anto laki-laki. kemarin laki-laki dan besok laki-laki. kalau tetap maka bisa termasuk yaqin. tapi jika Anto menjadi transgender wanita atau waria, maka tingkat keyakinannya tidak mencapai yaqin tapi dzann. batasan “sesuai dengan fakta” menafikan fantasi atau hipotesis. karena pemikiran yang tidak sesuai dengan fakta tidak termasuk pemikiran tapi fantasi. contohnya keyakinan “manusia bisa terbang dengan sendirinya tanpa alat” atau “kereta api yang melaju di langit”. batasan “tidak mungkin hilang” menafikan muqallid karena orang yang taqlid bisa saja berubah karena menemukan pendapat yang lebih kuat. bisa saja pendapat yang dia ikuti sebelumnya diketahui salah atau tidak sesuai dalil sehingga dia mengubah pendapat yang dia ikuti dan dia jalankan.
  3. qath’i adalah keyakinan yang tegas. dia tidak mempunyai konotasi yang lain. misalnya hukum waris telah ditentukan di dalam Al-qur’an. qishash, hudud dan jinayat telah ditentukan. sholat pun telah ditentukan tata caranya sehingga tidak bisa diartikan hanya dengan perbuatan hati “mengingat Allah” tanpa berbuat apa-apa.
  4. dzanni artinya keyakinan yang kuat, tapi memiliki dua bagian: syakk dan wahm. ada pendapat yang mengatakan dzanni adalah syakk yang dikuatkan/ dirajihkan. dzanni dapat dianggap tingkat keyakinan di atas 50%.
  5. syakk artinya ragu-ragu. tingkat keyakinan syakk pada 50%. 50% benar atau 50% salah. 50% yakin 50% ragu-ragu.
  6. wahm artinya tingkat keyakinan kurang dari 50%.

aqidah adalah pemikiran pokok, oleh karena itu tingkat keyakinannya harus 100% atau ilm. untuk itu aqidah harus dibangun dari sumber yang terbukti pasti benar, sesuai dengan fakta, dengan penjelasan yang pasti, cara yang pasti jelas diketahui dan tidak akan berubah. sumbernya harus berderajat ‘ilm. oleh karena itu juga tidak boleh membangun aqidah dari hadist ahad karena hadist ahad berderajat dzann. dalil yang berderajat qath’i, yaqin dan ilm adalah Al-qur’an dan hadist mutawatir.

larangan membangun aqidah dari dalil dzann adalah:

“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” (QS An-najm : 23)

“Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS An-najm: 27 – 28)

“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti apapun kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS Yunus: 36)

ayat-ayat di atas meskipun mengecam orang-orang kafir, tapi berlaku juga untuk umat islam. tujuannya agar tidak membangun aqidah dari persangkaan/ dzann saja.

masalah di atas adalah mengenai aqidah, yaitu perbuatan hati. mengenai hukum syara’/ syariah berbeda. karena syariah adalah masalah perbuatan oleh anggota badan. masalah aqidah dan syariah adalah hal yang berbeda. aqidah adalah perbuatan hati sedangkan syariah adalah perbuatan badan. contohnya ayat berikut:

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS An-nisa: 136).

ayat ini adalah ayat aqidah. sedangkan ayat di bawah ini:

” Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,” (QS At-tawbah: 34).

adalah termasuk ayat syariah.

jadi ayat-ayat aqidah mencakup kabar-kabar seperti Allah, malaikat, qadla, qadar, rizki, ajal, akhirat, hari kiamat, hisab, surga, neraka, para nabi sebelum Nabi Muhammad, orang-orang shalih. perintah Allah terhadap ayat-ayat ini hanya menerima, tunduk, patuh dan meyakininya sebagai kebenaran, menilainya sebagai kabar yang benar, sesuai dengan fakta/ faktanya memang sesuai dengan kabar yang disampaikan Al-qur’an kemudian meyakininya. setiap muslim wajib mempertahankan imannya sampai mati.

ayat-ayat syariah mencakup perbuatan-perbuatan atau peraturan yang ditetapkan Allah. peraturan itu berupa perintah-perintah, larangan-larangan, maupun kisah-kisah yang mengandung ibrah, ancaman, atau balasan. contohnya Al-qur’an tidak berkata “jangan berbuat homoseks dan lesbian!” tapi menceritakan azab kaum Nabi Luth AS agar manusia tidak berbuat seperti yang telah dilakukan mereka supaya tidak diazab Allah. Azab itu menunjukkan perbuatan homoseks dan lesbian itu hukumnya haram.

hukum syara’ tidak hanya bersumber dari Al-qur’an dan hadist mutawatir yang qath’i tapi bisa juga dari dalil dzanni seperti hadist sahih, hasan atau dlaif. hadist dlaif boleh diragukan. tapi meragukan hadist shahih tidak diperbolehkan kalau belum memiliki bukti dan dalil. hanya pemahamannya saja yang belum jelas. tapi meragukan, menolak dan menentang hukum yang sudah ditentukan Al-qur’an dan hadist mutawatir bisa termasuk kafir atau murtad karena Al-qur’an dan hadist mutawatir qath’i tsubut. misalnya qishash, jihad, hudud, jinayat, zakat, riba, waris yang qath’i tsubut dan qath’i dilalah.

 

 

Pos ini dipublikasikan di aqidah dan tag . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar